Kepemimpinan dan kredibilitas tergantung pada hati, bukan hanya otak. Kedua hal tersebut seharusnya ada pada setiap pemimpin bangsa ini, punya intelektualitas yang cerdas dan juga punya hati yang ikhlas untuk memimpin bangsa ini lepas dari berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Dengan penyatuan dua hal tersebut tentunya akan mampu membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia menuju kesejakteraan umum, kecerdasan bangsa, dan keadilan sosial sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Konsep atau ajaran kepemimpinan
tidaklah hanya berguna bagi pemimpin atau calon pemimpin, tetapi berguna bagi
setiap orang termasuk pula menjadi anggota yang dipimpin. Dengan mengerti
kepemimpinan kita memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat
demikian pula bagaimana seharusnya seorang anggota patuh pada
pemimpinnya. Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat nilai-nilai
kepemimpinan yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena itu
selalu relevan dengan perkembangan masyarakat. Nilai-nilai kepemimpinan dalam
ajaran Agama Hindu lebih dari sekedar sumber filsafat, etik dan moral, tetapi
juga nilai-nilai spiritual yang luhur untuk mencapai tujuan tertinggi
berupa kebahagiaan lahir dan batin.
Nilai-nilai atau konsep-konsep
kepemimpinan Hindu dapat dijumpai dalam kitab suci Veda, Arthasastra,
Dharmasastra termasuk pula dalam kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan
Mahabharata dan kitab-kitab Purana seperti Agni Purana, Vayu Purana dan
lain-lain.
Di dalam kitab suci Manawa
Dharmasastra kita jumpai sloka yang menyangkut ajaran kepemimpinan yaitu :
“sakanikang rat kita yan wenang manut, mapudesa prihatah
rumaksaya ksaya nikangpapanahan prayao janah, janaruragadi tuwi kapangguha”
Artinya : “Tiang negaralah engkau jika bisa mengikuti
petunjuk-petunjuk hukum manu ( Manawa dharmasastra) usahakan itu dipegang
teguh. Hilangnya segala penderitaan bagi rakyat adalah tujuan kepemimpinanmu,
sehingga rasa hormat, dicintai dan disegani orang tentu akan kita jumpai”.
Petunjuk-petunjuk seperti ini sangat banyak dijumpai dalam sastra sastra
Jawa Kuna, yang memberikan petunjuk bahwa seorang pemimpin tidak boleh
bertindak sesuka hatinya ketika ia memegang kekuasaan. Dari semua hukum-hukum
yang harus dipedomani oleh seorang pemimpin, disimpulkan dalam dharma yang
mengandung pengertian segala sesuatu yang mendukung orang untuk mendapatkan kerahayuan. Dalam
kakawin Ramayana, Bhismaparwa dan lain-lain dijumpai uraian dharma sebagai
pedoman raja (pemimpin) dalam memimpin negaranya.
Disamping sebagai pelindung rakyat, pemimpin juga harus
memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Hal ini nampak jelas dalam kutipan
sebagai berikut:
“Bilamana seorang pemimpin dalam
sebuah negara selalu mengikuti kebenaran dan dharma, serta mencukupi kebutuhan
rakyatnya, maka semua orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti dan
menyebarkan dharma kepada masyarakat luas “(Atharva Veda: 3.4.2).
Selanjutnya di dalam Arthasastra
karya maharsi Kautilya atau Chanakya (VI.1.2-6) dinyatakan enam sifat atau
disiplin hidup yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
1) Abhigamika, seorang pemimpin dapat
menarik simpati rakyatnya, karena itu ia harus berorientasi ke bawah,
mengutamakan kepentingan rakyat banyak.
2) Prajña, seorang pemimpin hendaknya
cerdas, arif dan bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan dan seni kepemimpinan
serta memiliki daya analisa yang tajam dengan pandangan yang jauh ke depan.
3) Utsaha, seorang pemimpin hendaknya
mampu mengambil inisiatif, oleh karena itu ia harus aktif, innovatif dan
menjadi pelopor dalam mengembangkan kreativitas masyarakat untuk maju.
4) Atmasampad, seorang pemimpin hendaknya
memiliki integritas pribadi, memiliki moral yang luhur, segala tingkah lakunya
terpuji dan patut menjadi teladan masyarakat.
5) Sakhyasamanta, seorang pemimpin mampu
mengawasi bawahannya, dengan demikian segala kebijaksanaan yang telah
ditetapkan dapat terlaksana secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan
sasaran yang telah ditetapkan.
6) Aksudraparisakta, seorang pemimpin
memiliki kemampuan untuk memadukan pendapat yang saling berbeda dalam suatu
permusyawaratan. Pemimpin seharusnya menguasai teknik dan seni mempertemukan
pendapat-pendapat yang saling berbeda. Kepandaian pemimpin dalam berdiplomasi
ini akan mengantarkan sukses kepemimpinannya.
Jakarta, 25 Desember 2013
Dwi Arisetia
Jakarta, 25 Desember 2013
Dwi Arisetia
Komentar
Posting Komentar