Einstein menyatakan bahwa antara
agama, seni dan ilmu memiliki keterkaitan dalam membangun hidup dan kehidupan
manusia secara utuh. Agama mengarahkan hidup manusia, seni menghaluskan hidup,
dan ilmu bertujuan memudahkan hidup manusia. Ketiga hal ini merupakan landasan
budaya bagi setiap masyarakat yang religius atau mendasarkan dirinya pada
nilai-nilai agama. Hal ini sejalan dengan definisi kebudayaan sebagaimana
disampaikan oleh Koentjaraningrat (2002:9) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Kebudayaan memang merupakan
sesuatu hal yang kompleks sehingga terlalu sulit untuk didefinisikan, bahkan beberapa
orang mengidentikkan antara kebudayaan dan kesenian.
Dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, antara agama dan kesenian atau
seringkali dikatakan dengan kebudayaannya sangat sulit untuk dibedakan. Padahal
garis batas antara agama dan kebudayaan atau kesenian sangatlah jelas walaupun
tipis sekali kenyataannya. Hal ini memunculkan konfrontasi dalam pemahaman
masyarakat adalah tentang hubungan agama dengan kebudayaannya.Agama merupakan
landasan moral dan etika yang paling tinggi dari berbagai bentuk kehidupan.
Akan tetapi pemahaman ajaran agama yang tidak utuh dan menyeluruh justru sering
kali dapat membahayakan tidak saja bagi diri orang tersebut tetapi juga bagi
kehidupan dan kepentingan masyarakat secara luas.
Terkait dengan hal itu, Koentjaraningrat menyatakan bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan universal, yaitu (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem
dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem ilmu pengetahuan, (4) bahasa, (5)
kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, (7) sistem tekhnologi dan
peralatan. Dalam hal ini kesenian merupakan salah satu unsur dari kebudayaan
universal yang walaupun dalam kenyataannya berbeda dengan sistem religi atau
upacara keagamaan, tetapi pada kenyataannya memiliki hubungan yang tidak
terpisahkan.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa agama dalam hubungannya dengan
kebudayaan adalah bahwa agama merupakan sistem religi. Sistem religi Koentjaraningrat
(1987) menyatakan bahwa sistem religi terdiri atas lima komponen yang saling berkaitan erat satu
sama lain. Kelima komponen itu adalah (1) Emosi keagamaan; (2) Sistem
keyakinan; (3) Sistem ritus dan upacara; (4) Peralatan Ritus dan Upacara; dan
(5) Umat agama. Dalam kenyataan di dunia empiris bahwa kaitan agama, kebudayaan
dan kesenian akan tampak dalam sistem ritus serta peralatan upacara. Agama
memberikan nilai sakral atau sistem keyakinan kepadanya sehingga menyebabkan
munculnya emosi keagamaan dalam diri penganutnya.
Emosi keagamaan menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religius
merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Sistem keyakinan dalam
suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan
konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib, dunia
akhir, roh nenek moyang, dewa-dewa, hantu serta sistem nilai, sistem norma,
kesusilaan, dan doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia.
Sistem keyakinan tersebut biasanya terkandung dalam kesusasteraan suci, baik
yang tertulis maupun lisan, seperti dongeng dan mitologi. Sistem ritus dan
upacara dalam suatu religi berwujud tindakan manusia dalam melaksanakan
kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, nenek moyang atau makhluk lainnya.
Dalam sistem ritus dan upacara biasanya digunakan sarana dan peralatan upacara.
Komponen kelima adalah umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan
tersebut.
Dari kelima komponen tersebut, Koentjaraningrat menekankan bahwa emosi
keagamaan adalah komponen utama dari gejala religi. Seperti dijelaskan sebagai
berikut.
“Keyakinan,
ritus serta upacara, peralatan ritus serta upacara dan umat agama, yang
berkaitan erat satu sama dengan lain dan saling pengaruh mempengaruhi, baru
mendapat sifat keramat yang mendalam apabila dihinggapi oleh komponen yang saya
sebut sebagai komponen utama, yaitu emosi keagamaan (Koentjaraningrat, 1987:
83).
Dalam hubungan antara agama dan kesenian akan tampak
jelas dalam sistem ritus dan upacara, serta peralatan upacara. Terutama dalam
kehidupan beragama Hindu di Bali yang selalu berkaitan dengan ritual yang cukup
besar dan penuh nilai seni. Jika diamati secara fisik akan tampak jelas bahwa
apapun yang dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali dalam melaksanakan ajaran
agamanya adalah dengan nilai estetika atau kesenian. Kesenian yang dilaksanakan
berkaitan dengan pelaksanaan agama Hindu akan menumbuhkan emosi keagamaan
sehingga umat merasakan itu sebagai hal yang penuh nilai kesucian. Oleh sebab
itu maka di Bali kesenian dalam kaitannya
dengan agama atau nilai kesakralannya dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu
seni sakral (Wali), seni semi sakral
(bebali), dan seni profan (balih-balihan).
Berbagai macam pendapat tentang hubungan agama dan
kebudayaan mengindikasikan bahwa keduanya saling terkait erat. Geertz (1992:11)
menekankan pada agama sebagai sekumpulan persepsi manusia tentang simbol-simbol
sakral. Menurutnya, simbol-simbol sakral itu merubah persepsi manusia ke dalam
kecenderungan-kecenderungan akan kewajiban-kewajiban terhadap sesuatu yang
dinilai bersifat religius. Misalnya, aktivitas puasa menjadi bagian dari agama
ketika digunakan tidak sekedar untuk mengurangi berat badan, tetapi lebih
ditujukan untuk sesuatu yang bersifat psikis atau untuk dunia yang lebih
abstrak. Dalam bidang kesenian misalnya, tugu batu (palinggih)yang dibuat indah berukir tidak saja sekedar akan
bernilai seni tinggi tetapi lebih banyak menunjukkan tentang kebesaran makna
yang terkandung dalam tugu itu sebagai tempat pemujaan kepada Tuhan.
Hal ini seturut dengan pemahaman Elliade (dalam
Susanto, 1987:44-45) tentang mitos-mitos sakral. Mitos telah mampu merubah pandangan
masyarakat terhadap sesuatu yang biasa (profan) menjadi hal yang disakralkan.
Sapi yang merupakan binatang biasa bagi orang-orang muslim, merupakan binatang
yang disakralkan oleh orang-orang Hindu. Artinya, antara kebudayaan dan agama
secara bersama-sama berlaku dalam kehidupan manusia, jika kebudayaan menggiring
manusia untuk merumuskan sebuah agama sebagai kesepakatan bersama, maka agama
adalah nilai dari kesepakatan itu sendiri yang didasarkan pada keyakinan. Keyakinan merupakan sesuatu
yang paling mendasar dalam agama karena tanpa keyakinan agama tidak lebih dari
sekedar hasil kebudayaan manusia yang bisa hilang setiap saat.
AGAMA HINDU DAN KESENIAN BALI
Hubungan antara agama dan kebudayaan atau lebih
spesifik dengan kesenian akan menjadi lebih jelas apabila dianalisa dengan
wujud kebudayaan itu sendiri. Bahwa kebudayaan menurut Koentjaraningrat
setidaknya memiliki tiga wujud, yaitu (1) kebudayaan sebagai sekumpulan ide-ide
atau gagasan-gagasan, (2) kebudayaan
sebagai sistem aktivitas berpola, dan
(3) kebudayaan sebagai artefak atau benda-benda fisik. Agama secara langsung
mewujudkan diri ke dalam tiga wujud tersebut.
Dalam wujud ide-ide, maka ide-ide tentang agama adalah
apa yang tertulis dalam kitab suci yang diyakini oleh penyembahnya. Kitab suci
yang merupakan hasil perenungan dari orang-orang suci dinyatakan sebagai wahyu
yang menjadi sumber dari segala aktifitas religius manusia. Dalam wujud
aktifitas, maka agama adalah sekumpulan sistem aktifitas manusia dalam
menjalankan apa saja perintah dari kitab suci yang diyakininya. Dalam wujud
inilah akan muncul kegiatan-kegiatan ritual, puasa, sembahyang, juga berdoa.
Dalam sistem kemasyarakatan, juga menyebabkan munculnya stratifikasi sosial,
misal adanya kelompok pendeta atau alim ulama, munculnya kelompok penceramah
atau pengkhotbah, munculnya organisasi keagamaan. Dan wujud kebudayaan sebagai
artefak-artefak maka agama mewujudkan diri dalam benda-benda sakral. Dalam
wujud ini, maka agama sebagai kebudayaan menjadi sangat mudah diklasifikasikan.
Adanya bangunan-bangunan suci atau tempat ibadah, adanya patung-patung, salib,
dan banyak lagi benda-benda sakral yang berusaha diwujudkan oleh kebudayaan
manusia dalam menghayati agamanya.
Fenomena kehidupan beragama masyarakat Hindu di Bali
sepertinya sangat lekat dengan kehidupan kebudayaan orang Bali
sendiri. Hal ini tampak bahwa kehidupan orang Bali
selalu berpelukan erat dengan kegiatan-kegiatan ritual, yang bernuansa
religius. Hal ini juga membedakan wajah agama Hindu di Bali dengan agama Hindu
lainnya, baik di Jawa maupun di India .
Dalam beberapa pendapat, seringkali agama Hindu di Bali dianggap tidak bisa
memisahkan diri dengan adat dan budayanya, atau antara agama, dan budaya Bali
tidak ada bedanya.
Aktifitas seni dalam kehidupan masayrakat Bali memang tidak dapat dilepaskan apalagi dengan kondisi
perekonomian Bali yang sangat ditopang oleh
kepariwisataan. Lebih unik lagi tatkala kesenian merupakan bagian integral
dalam pelaksanaan agama Hindu di Bali. Dilihat dari idenya, antara kesenian dan
aktifitas beragama Hindu di Bali merupakan satu kesatuan dimana dalam
kepercayaan agama Hindu, Dewa Siwa merupakan perwujudan dari tarian kosmis (Siwa Nataraja), dari Dewa Siwa-lah
segala aktivitas kesenian muncul.
Secara umum kesenian meliputi seni pahat, seni
bangunan, seni suara, seni musik, dan seni tari. Dalam konsep tripartit kehidupan budaya masyarakat
Hindu di Bali selalu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu uttama, madya, nista, sakral, semi-sakral, dan profan. Dalam konsep
ini, kesenian Bali baik itu pahat, seni
bangunan, seni suara, seni musik, dan seni tari selalu menggunakan ketiga
konsep tersebut. Dalam seni bangunan misalnya selalu dibagi menjadi tiga hal,
yaitu utama (bangunan merajan/ tempat
suci), madya (tempat tinggal), dan nista (pekarangan). Seni bangunan Bali dalam kaitannya dengan agama Hindu bukanlah
asal-asalan melainkan berdasarkan lontar
asta kosala-kosali dan asta bumi. Seni
suara (kidung), juga dibedakan penggunaannya sesuai dengan ajaran agama Hindu,
misal ada kidung untuk dewa yajna, manusa
yajna, dan bhuta yajna. Seni
tari, seperti telah dikemukakan di depan bahwa juga dibagi atas tari wali, bebali dan balih-balihan. Demikian erat nilai seni
(estetika) masyarakat Bali dengan agama Hindu
sehingga agama Hindu di Bali nampak subur dan indah, bukan terkesan kering. Hal
ini tentu diharapkan akan membentuk jiwa umat Hindu yang halus dan penuh
kedamaian.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta ,
2003.
Haedi, Ayatroe, Kepribadian
Budaya Bangsa, Pustaka Jaya, Jakarta , 1986
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropolgi I, Universitas Indonesia Pers, Jakarta ,1987.
--------------------,
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta ,
2002.
Notingham, Elizabeth K, Agama dan Masyarakat, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta , 2002.
Pals, Daniel.L, Dekonstruksi
Kebenaran, IRCisoR, Yogyakarta , 2002.
Rai Sudharta dan Puniatmadja, Upadesa, Paramita, Surabaya ,
2001.
Susanto, P.Hari, Mitos
Menurut Pemikiran Mircea Elliade, Kanisius, Jakarta , 1987.
Team, 2002, Estetika Hindu dan Kebudayaan Bali, Program
Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, UNHI. Denpasar.
Mkasih byak jawabanya😄
BalasHapus