Dalam kehidupan sehari-hari dalam tayangan TV ataupun media cetak banyak menayangkan peristiwa-peristiwa berbagai tindak kriminalitas dan amoral seperti pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, narkoba, fornografi, fornoaksi dan sejenisnya. Peristiwa tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Agama dan standar Moralitas atau nilai-nilai budhi pekerti dan norma-norma pada umumnya. Menghadapi situasi yang demikian, maka peranan pendidikan Agama sangat menentukan. Dalam hal ini, dasar-dasar moralitas sebagai panduan perbuatan sesuai dengan kitab suci mutlak diperlukan. Bhagawadgita yang merupakan kitab suci Agama Hindu mempunyai peranan yang sangat penting dalam peningkatan moral manusia di kehidupan. Kitab Bhagavadgita ini terdiri atas 18 bab dan 700 seloka, tetapi pada intinya mengandung lima tema ajaran, yaitu tentang (1) Brahman (Tuhan), (2) Atman (hidup), (3) Prakrti (material), (4) Kala (waktu), dan (5) Karma (perbuatan). Brahman dijelaskan sebagai kenyataan utama, satu tiada duanya, di luar batas nama dan rupa, tanpa sifat, tanpa permulaan, pertengahan, dan akhir. Brahman, juga dikatakan sebagai kebenaran yang tak berubah, di luar batas ruang, waktu, dan sebab-akibat. Agar dapat dipercaya maka Brahman tak terbatas mewujudkan dirinya sebagai alam semesta dan makhluk hidup melalui maya-Nya. Ini dikatakan sebagai Isvara. Brahman, Tuhan Yang Maha Esa juga dijelaskan sebagai pengendali. Artinya, segala sesuatu bekerja dibawah kehendak dan perintah-Nya. Ketika menjadi hidup dari hidupnya segala makhluk , Brahman disebut Atman. Atman, para jiwa atau makhluk hidup diakui oleh Tuhan sebagai bagian dari diri-Nya yang mempunyai sifat sama seperti-Nya. Makhluk hidup adalah isvara-isvara kecil yang takluk. Artinya, makhluk hidup adalah prakrti yang utama. Alam material atau alam semesta merupakan prakrti yang lebih rendah atau alam rendah. Kedua prakrti ini, baik alam semesta maupun makhluk hidup semuanya tunduk, dikuasai, dan dikendalikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Ada tiga prinsip yang merupakan unsur yang mewarnai seluruh jiwa
manusia, yaitu satwam, rajas, dan tamas. Untuk itu sebagai manusia hendaknya
dapat menyeimbangkan unsur tersebut agar tidak terjebak dalam tindakan amoral. Pengaruh
moral dalam Bhagawadgita itu sendiri telah dinyatakan sangat nyata, terutama
melalui sloka-sloka tertentu dalam ajarannya sebagai suatu keseluruhan.
Adapun salah satu sloka dalam Bhagawadgita yang
dapat dipakai sebagai salah satu peranan dalam peningkatan moral dijelaskan dalam
Gita.II.27 bahwa sesungguhnya setiap yang
lahir, kematian adalah pasti, demikian pula setiap yang mati kelahiran adalah
pasti, dan ini tak terelakkan. Dalam sloka tersebut tersirat makna,
artinya bahwa manusia meninggalkan bekas perbuatannya pada masa kini, dan ini yang
menyebabkan kelahiran berulang-ulang. Oleh karena itu, setiap kelahiran
merupakan masa untuk meningkatkan kualitas karma atau perbuatan. Sebelum karma itu mencapai kesempurnaan dan
kebebasan selama itu pula kelahiran dan kematian akan dialami secara terus
menerus. Jadi, di samping untuk menikmati karma masa lalu, terpenting dari
kelahiran adalah untuk menyempurnakan karma
atau perbuatan masa kini agar mencapai pembebasan. Dalam hal ini, dasar-dasar
moralitas sebagai panduan perbuatan sesuai dengan kitab suci mutlak
diperlukan.
Potensi spiritual yang ada di dalam
diri setiap manusia sebenarnya merupakan kekuatan luar biasa yang sekiranya
dapat digunakan secara baik dan benar akan memungkinkan mencapai Yang Maha Esa
dengan lebih sempurna. Akan tetapi bila manusia berjalan di atas jalan nafsu
dan keserakahan maka ia akan menghadapi oposisi dari pihak lain karena ia berjalan
di jalan yang salah. Jalan yang salah ini berarti bertentangan dan berlawanan
dengan dharma sebagai hukum kebenaran abadi. Selama dikuasai oleh kemarahan,
yakinlah bahwa manusia sedang dalam keadaan diikat erat-erat oleh nafsu
inderawi dan objek-objek duniawi dan ini berarti perjalanan sedang melaju
dengan cepat ke neraka yang dalam dan gelap. Jadi, selama manusia
mengeksploitasi nafsu-nafsu dan dirinya sendiri, merusak alam, dan makhluk
lainnya maka selama itu pula ia akan hanyut dalam perputaran lingkaran
lahir-mati.
Akan tetapi bila mampu melepaskan diri dari ketiga pintu tersebut maka manusia
akan dapat mencapai tujuan tertinggi. Untuk itu, kitab suci hendaknya dijadikan pedoman dalam berpikir,
berujar, dan berperilaku. seseorang dikatakan baik
tentulah ia telah secara nyata berbuat baik dan bukan hanya dalam kata-kata dan
pikirannya. Pikiran hanyalah bahasa hati yang sangat rahasia dan kata-kata
hanyalah bahasa yang penuh misteri, tetapi dalam tindakan semuanya memiliki
nilai dan mendapatkan arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, Gita menyarankan
agar manusia selalu bekerja dan secara terus-menerus berada dalam kerja yang
didasari oleh pikiran dalam pengetahuan yang benar. Dengan demikian seluruh
perbuatan telah berubah menjadi pengabdian yang tinggi dalam batasan bhakti
yang tulus dan sungguh-sungguh, yaitu yadnya.
Ini yang dikatakan sebagai tindakan atau perbuatan yang berdasarkan tuntunan
kitab suci dan perbuatan seperti ini juga dikatakan akan mengantarkan manusia
sampai pada tujuan tertinggi, yaitu realisasi diri.
Dari uraian
tersebut dapat dipahami bahwa dalam Gita ditemukan dasar-dasar moralitas yang
dalam bentuk pernyataan positif teridentifikasi melalui sifat-sifat manusia
yang mulia. Akan tetapi, dalam bentuk pernyataan negatif terindentifikasi
melalui manusia yang jahat.
Jakarta, 25 Desember 2013
Dwi Arisetia
Komentar
Posting Komentar